RESENSI BUKU KUMPULAN ESAI “REPUBLIK KEN AROK”
Nama Pengarang : Candra Malik
Nama Penerbit : Penerbit KPG
Ketebalan Buku : xx + 252 halaman
Tahun Terbit : 2016
ISBN : 978-602-6208-84-2
Nama
Candra Malik tentu tak asing lagi bagi yang pernah mendengarkan album realigi
bertajuk Kidung Sufi “Samudera Cinta”, Kidung Sufi “Doa-Doa”, Extended Play
“Energy for Life”. Candra Malik, seorang sastrawan sufi yang produktif
melahirkan enam buku berjudul Makrifat
Cinta, Menyambut Kematian, Antologi #FatwaRindu Cinta 1001 Rindu, Ikhlaskanlah
Allah, Novel Mustika Naga, dan
Kumpulan Cerita Pendek Mawar Hitam.
Ketekunan
berkarya mengantarkan Candra Malik meraih prestasi dan penghargaan yang kian
melejitkan namanya. Pada tahun 2014 ia ditahbiskan sebagai Penata Musik Terbaik
Film Televisi (FTV), ditahun yang sama pula ia menerima Piala Vidia dalam
Festival Film Indonesia. Kumpulan esai “Republik Ken Arok” merupakan karya
ketujuh Candra Malik, seorang sastrawan sufi yang kini mengabdikan diri sebagai
Wakil Ketua Lesbumi PBNU (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia-Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama). Kumpulan tulisan dalam buku ini pernah termuat dalam pelbagai
surat kabar dan portal berita.
Realitas
sosial dibahas secara menyeluruh dalam buku ini. Kebekuan interaksi masyarakat
akibat kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, kepercayaan kepada orang lain,
dan kepercayaan dari orang lain dijabarkan dengan berbagai fenomena pagar-pagar
rumah yang kian menjulang, dan keakraban salam yang tersubstitusi oleh lonceng
mesin suara. Lahirnya tokoh-tokoh sosial pendobrak kebekuan itu sungguh
melegakan, dan masyarakat butuh lebih banyak dan lebih banyak lagi tokoh
seperti itu. Masyarakat memerlukan terobosan dan kepemimpinan untuk menjaga
nyala api gotong royong agar tidak padam.
Esensi
“Ken Arok” yang merupakan sentral dari kumpulan esai ini dapat disimak dalam
bab permulaan buku. Riwayat Ken Arok bermula dari antah-berantah. Sejarah
menulis tidak dengan jelas, anak siapa dia. Namun kemudian dia keluar saat
politik menghendakinya. Tentu saja sebagai pemenang, sebagai pahlawan. Padahal,
dia tidak diperhitungkan sebelumnya.
Zaman
telah mengubah teori silsilah betapa tampak kekuasaan tidak lagi diturunkan
layaknya dinasti melainkan pada siapa yang menang sebagai pahlawan. Hal ini
mengingatkan saya akan kondisi politik Indonesia saat ini. Pemimpin baru datang
dari sudut yang tak terkira, mengalahkan kandidat yang rekam jejaknya tampak
dimana-mana.
Kesufian
penulisnya terlihat dari pelbagai penggalan ayat-ayat suci Al-Quran yang
disematkan dalam pembahasan. Membaca buku ini laksana menyimak ceramah
pengajian namun disampaikan dengan bahasa yang lincah mendayu yang membuat saya
tak bosan menghabiskan lembar demi lembar untuk melahap makna dalam berbagai
fenomena yang penulis paparkan. Pembahasan jadi makin menarik ketika konten
sudah merambah pada fenomena realitas sosial yang kekinian. Membaca tulisan
Candra Malik membuat saya senyum-senyum sendiri, menyadari berbagai fenomena
sosial dimana kita menjadi bagian didalamnya.
Candra
Malik sanggup menyajikan sekumpulan fenomena kekinian yang oleh orang lain
dianggap angin lalu dan tren sesaat. Pemikiran kritisnya terungkap dalam bahasa
sehari-hari yang mudah dipahami dan tentunya mudah dicerna. Kejelian dalam
menyikapi banyaknya persoalan masyarakat menjadi poin penting dari buku ini.
Realitas
sosial masyarakat Indonesia dijabarkan begitu tajam dan merinci. Seperti
tradisi masyarakat yang membicarakan sesuatu atas nama konon, negeri dalil yang
asalkan ada dalilnya maka sesuatu dianggap sah, tradisi mengucapkan selamat
hari raya kepada pemeluk agama lain menjadi pokok bahasan berhari-hari tiap
tahun serta kegemaran orang Indonesia membuat meme sebagai humor penyegaran terhadap masalah-masalah yang
terjadi.
Belum
lagi soal bahasa persatuan yang tergerus bahasa percakapan. Kini, menonjolkan
bahasa asing menjadi hal yang lebih penting dalam pergaulan ketimbang kecakapan
menggunakan bahasa persatuan negeri sendiri. Orang tua lebih menyuruh anak
mengasah kemampuan bahasa asing daripada memperbaiki bahasa sendiri. Anak pun
tak cemas bila nilai pelajaran Bahasa Indonesia berada dititik mengkhawatirkan
asalkan nilai bahasa asing dibatas mengesankan.
Adalah
penyair yang berupaya keras menempuh penjelajahan bahasa melalui studi atas
karya sastra maupun penciptaan karya-karya baru. Mereka adalah sastrawan yang
berdiri tangguh dihempas bahasa sehari-hari yang memojokkan mereka dengan
dakwaan sok nyastra karena berbahasa
yang baik dan benar.
Perdebatan
soal Islam Nusantara yang sedang populer beberapa waktu lalu juga ikut dibahas
dalam buku ini. Lewat tulisannya, ia mencoba memberitahu pada pembaca bahwa
definisi Islam Nusantara bukan tentang teologi, melainkan lebih tentang
sosiologi. Tentang akar tradisi dan kebudayaan kita sebagai bangsa. Sama halnya
dengan Islam dan Arab sebagai satu dan lain hal. Islam itu agama dan Arab itu
bangsa beserta budaya-nya. Islam tidak selalu Arab dan Arab tidak melulu Islam.
Kelebihan buku tersurat dalam bahasa
yang ringan dan kajian fenomena yang “dekat” dengan kehidupan sehari-hari.
Kedekatan materi itulah yang membuat saya nyaman menikmati alur bahasan yang
penulis rangkai. Membaca buku ini dapat meningkatkan pemahaman sosial dan
sebagai refleksi diri dalam berinteraksi sosial.
Penyematan percakapan Gus Mus dan
Kang Soleh dapat memberikan motivasi kepada pembaca bahwa realitas yang salah
perlu diluruskan adanya. Citarasa humor juga turut hadir dalam percakapan yang
sering muncul pada pembahasan. Dalam menjelaskan suatu opini, penulis selalu
memaparkan pula mengenai fakta-fakta yang ada dalam masyarakat, membuat saya
semakin terkesima dengan logika berpikir penulisnya.
Pengunaan idiom-idiom “pahala = mata
uang surga”, “niat baik sudah dihitung sebagai pahala, sementara niat buruk
tidak diperhitungkan karena masih sebatas niat” juga turut memperindah isi buku
ini. Tak terasa saking banyaknya rentetan kelebihan hingga membuat saya lupa
mencari celah kekurangan buku ini. Ada beberapa tulisan yang sama dalam sub
tema satu ke sub tema lain, hal ini membuat saya merasa bosan dengan penggalan
kalimat yang terjumpai berulang-ulang.
Buku-buku yang mengangkat tema
realitas sosial masyarakat rupanya menjadi bahan untuk mencerahkan
pemikiran-pemikiran yang kerap tak acuh dengan realitas yang sedang terjadi
dimasyarakat. Membaca buku dengan genre semacam
ini merupakan rekomendasi penyegaran bagi psikis. (wahid saputra)
sumber: resensi karya riska audina sinaga
Komentar